Keutamaan Shalat
Shalat memiliki keutamaan yang sangat besar di dalam Alquran maupun
As-Sunnah. Oleh karena itu, shalat adalah sebuah kebutuhan yang sangat
mendasar bagi seorang hamba dan sama sekali bukan sebagai beban yang
memberatkannya, bahkan shalat hakikatnya sebuah aktifitas yang sangat
menyenangkan hati seorang hamba.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memperumpamakan
shalat dengan perumpamaan yang sangat indah, yang menunjukkan bahwa ia
adalah sebuah kebutuhan dan kegembiraan hati orang-orang yang beriman,
karena dengannya Allah menghapuskan dosa hamba-Nya. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ ، يَغْتَسِلُ
فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا ، مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِى مِنْ دَرَنِهِ ؟
». قَالُوا :لاَ يُبْقِى مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا . قَالَ: « فَذَلِكَ مثل
الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ ، يَمْحُو اللَّهُ بِهَا الْخَطَايَا »
“
Tahukah kalian, seandainya ada sebuah sungai di dekat pintu salah
seorang di antara kalian, lalu ia mandi dari air sungai itu setiap hari
lima kali, menurut Anda, apakah itu akan menyisakan kotorannya ? Para sahabat menjawab, ‘Tidak menyisakan sedikit pun kotorannya.’ Beliau bersabda, ‘
Maka begitulah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapuskan dosa-dosa (hamba-Nya)’” (HR. Bukhari no. 528 dan Muslim no. 667).
Oleh karena itu, pantas jika shalat yang dilakukan dengan baik bisa mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar.
Allah
Ta’ala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar” (Al-‘Ankabuut:45).
Shalat memang membuahkan ketakwaan, karena mendorong pelakunya untuk
senantiasa ingat Allah dari waktu ke waktu, di tengah-tengah
kesibukannya dengan dunia dan di tengah-tengah kelalaian serta
kegersangan hatinya, Allah
Ta’ala berfirman,
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Thaha:14).
Barangsiapa yang mampu memahami dan menghayati dengan baik lautan
mutiara hakikat ibadah shalat, maka shalat dipandangannya menjadi suatu
aktifitas yang sangat menyenangkan dan ini terjadi pada diri Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
جعلت قُرَّة عَيْني فِي الصَّلَاة
Dijadikan sesuatu yang paling menyenangkan hatiku ada pada saat mengerjakan shalat. (HR. An-Nasaa`i dan Ahmad dan selain keduanya. Hadits Shahih).
Marilah kita menyelami lautan mutiara hakikat ibadah shalat dan
perumpamaan yang mengagumkan yang menggambarkan keindahannya. Sehingga
kita terdorong untuk lebih mencintainya dan melakukannya dengan
sebaik-baiknya. Imam Ibnul Qoyyim
rahimahullah telah membicarakan panjang lebar dalam berbagai kitabnya, diantaranya adalah berikut ini:
Hakikat Shalat
Ibnul Qoyyim
rahimahullah menguraikan hakikat shalat, “Tidak
dapat diragukan bahwa shalat merupakan perkara yang sangat
menggembirakan hati bagi orang-orang yang mencintainya dan merupakan
kenikmatan ruh bagi orang-orang yang mengesakan Allah, puncak keadaaan
orang-orang yang jujur dan parameter keadaan orang-orang yang meniti
jalan menuju kepada Allah. Shalat merupakan rahmat Allah yang
dianugerahkan kepada hamba-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka
untuk bisa melaksanakannya dan memperkenalkannya sebagai rahmat bagi
mereka dan kehormatan bagi mereka, supaya dengan shalat tersebut mereka
memperoleh kemulian dari-Nya dan keberuntungan karena dekat dengan-Nya.
Allah tidak membutuhkan mereka (dalam pelaksanaan shalat), namun justru
(hakikatnya shalat tersebut) merupakan anugerah dan karunia Allah untuk
mereka. Dengan shalat, hati seorang hamba dan seluruh anggota tubuh
beribadah. (Dalam shalat),Allah menjadikan bagian (anugerah) untuk hati
lebih sempurna dan lebih besar, yaitu berupa (hati bisa) menghadap
kepada Rabb nya Subhanahu, bergembira dan merasakan kelezatan berdekatan
dengan-Nya, merasakan nikmat dengan mencintai-Nya, riang gembira
menghadap kepada-Nya, tidak berpaling kepada selain-Nya saat beribadah
(shalat) serta menyempurnakan hak-hak peribadatan kepada-Nya, sehingga
ibadahnya sesuai dengan apa yang Dia ridhoi” (
Dzauqush Shalah, Ibnul Qoyyim. Hal. 8).
Kelalaian hati diantara shalat yang satu dengan shalat yang lain
Ibnul Qoyyim
rahimahullah menjelaskan tentang hal ini, “(Dalam
shalat lima waktu), diantara dua shalat, pada diri seorang hamba (bisa
saja) terjadi kelalaian, kegersangan, kekerasan dan keberpalingan hati,
ketergelinciran serta kesalahan-kesalahan, hingga (hal ini) menjauhkan
hatinya dari Rabb nya, menyingkirkan dari kedekatan dengan-Nya, (lalu)
jadilah sebuah hati yang terasing dari peribadatan kepada-Nya” (
Asraarush Shalaah, Ibnul Qoyyim. Hal.10).
Memperbarui panggilan shalat
Ibnul Qoyyim
rahimahullah pun juga menjelaskan hikmah
diulang-ulangnya panggilan shalat sehari semalam lima kali, beliau
bertutur, “Tatkala kekeringan (kelalaian hati) senantiasa mengancam dari
waktu ke waktu dan kegersangan jiwa datang silih berganti, maka
panggilan untuk menghadiri hidangan hati (shalat) selalu diperbarui dari
waktu ke waktu, sebagai rahmat dari Allah bagi hati itu. Sehingga ia
senantiasa memohon siraman (hujan yang bermanfa’at) kepada Dzat yang di
tangan-Nya ada hujan yang mengguyur hati tersebut, ia memohon hujan
rahmat-Nya agar tidak kering, yang diharapkan bisa menumbuhkan
rerumputan dan bebuahan keimanan dan agar tidak terputus dari materi
pertumbuhan (keimanan)” (
Dzauqush Shalah, Ibnul Qoyyim. Hal.9).
Shalat adalah hidangan hati
Selanjutnya Ibnul Qoyyim
rahimahullah menggambarkan ibadah
shalat dengan gambaran yang sangat indah, agar kita benar-benar merasa
bahwa shalat adalah sebuah kebutuhan yang mendasar dalam hidup kita.
Beliau mendeskripsikan hal ini dengan mengatakan, “Ketika Allah
Subhanahu menguji
seorang hamba dengan ujian syahwat dan sebab-sebab yang mengantarkan
kepadanya -baik dari dalam maupun dari luar dirinya- maka tuntutan
kesempurnaan hikmah-Nya dan Ihsan-Nya kepada hamba tersebut, Allah
persiapkan baginya sebuah hidangan (bagi hatinya) yang mengumpulkan
beraneka ragam warna, persembahan, selera dan anugerah. Allah mengundang
hamba tersebut untuk menghadiri jamuan hidangan (shalat) itu dalam
sehari lima kali, dan menjadikan setiap macam dari hidangan tersebut
(baca: dalam setiap shalat) sebuah kelezatan, manfaat dan kemaslahatan
(tersendiri) bagi hamba yang diundang untuk menyantap hidangan tersebut,
yang tidak didapatkan dalam macam hidangan yang lain (dalam shalat
yang lainnya) agar menjadi sempurna kelezatan yang dirasakan oleh hamba
itu dalam setiap macam peribadatan. Allah juga hendak memuliakannya
dengan segala jenis kemuliaan, sehingga setiap perbuatan
ubudiyyah (peribadatan)
itu menghapus hal yang tercela dan hal yang Dia benci, dan agar Allah
mengganjarnya dengan cahaya yang khusus, kekuatan dalam hati dan anggota
tubuhnya serta pahala yang khusus pada hari perjumpaan dengan-Nya” (
Dzauqush Shalah, Ibnul Qoyyim. Hal.8).
Shalat adalah hujan yang bermanfa’at bagi hati
Pada penjelasan di atas, Ibnul Qoyyim
rahimahullah telah
menjelaskan tentang kelalaian hati yang terjadi diantara shalat yang
satu dengan shalat yang lain. Pada ucapan yang lainnya, beliau pun
menjelaskan bahwa kelalaian hati tersebut hakikatnya adalah sebuah
kegersangan dan kekeringan, beliau berkata, “Kelalaian yang menimpa hati
merupakan kekeringan dan kegersangan, (namun) selagi hati tersebut
mengingat Allah dan menghadap kepada-Nya (dengan melaksanakan shalat),
maka itu merupakan hujan rahmat-Nya yang dicurahkan kepadanya, seperti
hujan yang mengguyur (Namun) jika hati itu lalai, maka ia akan mengalami
kegersangan sesuai dengan sedikit-banyaknya kelalaian yang menimpanya,
lalu jika kelalaian itu sudah menguasainya, maka tanahnya menjadi mati
dan tahunnya menjadi menjadi tak bertanaman lagi kering kerontang, serta
api syahwat siap membakar dari segala sisi, seperti angin kering yang
siap membakar apapun” (
Dzauqush Shalah, Ibnul Qoyyim. hal. 9).